PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di pilih pada Sabtu, 26 Maret 2011. Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: I Nyoman Subaga ; Patengen: I Gusti Putu Loka; ; Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa Pande, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Made Badra; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om

16 Agustus 2009

DHARMAWACANA IDA PANDITA MPU JAYA ACHARYANANDA


Pada tanggal 16 Agustus 2009 pukul 19.30 wita, diadakan sebuah dharmawacana bertema ”Peningkatan Mental Spiritualitas Melalui Prakertining Yadnya Menurut Agama Hindu” yang dibawakan oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, dharmawacana ini mengambil tempat di bale Banjar Karangsuwung. Ada 2 rangkaian yang melatar belakangi hadirnya kegiatan dharmawacana ini, satu berkaitan dengan penutupan Porseni tahun 2009 di lingkungan desa Pedungan dan kedua Sekeha Teruna-Teruni Karang Masjati berulang tahun yang ke 59 (seperti biasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya pada tanggal 16 Agustus banjar Karangsuwung mempunyai tradisi merayakan ulang tahunnya, kali ini kegiatan puncaknya adalah dharmawacana ini)

Acara yang diadakan di Banjar Karangsuwung ini, dihadiri oleh para Kelihan Desa, bapak Lurah dan bapak Bendesa serta para pemuka atau tokoh desa, dan juga oleh krama Banjar Karangsuwung. Pada dasarnya penyelenggaraan kegiatan ini dimotori oleh Sekeha Teruna-Teruni Karang Masjati dan dibantu oleh prajuru banjar.

Ada beberapa hal yang patut diungkapkan disini terkait materi dharmawacana itu (sebatas ingatan yang dapat dituliskan disini):

  1. Tantangan generasi muda pada masa kini atau era global, yang dapat mengurangi nilai-nilai spiritualitasnya.
  2. Potensi-potensi pada diri generasi muda dalam menghadapi era global.
  3. Hal-hal yang patut dilakukan oleh generasi muda dalam meningkatkan mental spiritualitasnya.

Dalam sesi diskusi yang menarik, yang tumbuh dalam suasana penuh kekeluargaan - bahkan Ida Pandita menyebutkan forum ini sebagai saat reuni (berhubung dulu ketika anak-anak dan masa remaja masih dikenal sebagai Wayan Miarta atau dikenal pula dikalangan tertentu sebagai wayan gianyar. Banjar karangsuwung dan Pembungan adalah tempat beliau bermain, itu dulu), ada pertanyaan-pertanyaan kritis muncul. Seperti misalnya:

Mengapa di Bali Selatan (khususnya di Badung dan Denpasar) sering dijumpai tradisi trance disaat-saat upacara di pura atau dalam pujawalinya, bahkan trance ini menjadi semacam cap untuk syah tidaknya pujawali yang dilaksanakan?

Mengapa pada bangunan wantilan, tempat mengadakan sasolahan tidak diijinkan mengadakan sasolahan karena dianggap bangunan itu tidak suci, sedangkan dipihak lain ketika masolah didepan pura (dijaban pura) Sasuhunan masolah dibawah tetaring (dengan klangsah atau terpal) yang dibuat dari bahan-bahan dengan kondisi mungkin masih leteh?

Ida Pandita memberikan pencerahan tentang tradisi trance atau kerawuhan ini, orang Bali punya berbagai cara dalam mewujudkan rasa baktinya kepada Ida Sanghyang Widhi (ISW). Demikian pula ISW punya berbagai bentuk pengejawatahan dalam menunjukkan kemahakuasaan beliau. Dan kondisi ini hidup berkembang dalam suasana spiritual di Bali. Tidak ada yang salah dalam tradisi trance ini, karena patut disadari bahwa Hindu di Bali merupakan kombinasi dari berbagai aliran mazab agama Hindu, dan tradisi kerawuhan ini merupakan penampilan pengaruh aliran Tantraisme di Bali. Namun yang menjadi perhatian disini adalah jangan sampai kondisi trance dimaksud merupakan wujud egoisme atau kerawuhan sebagai wujud emosi seseorang yang memang punya keinginan-keinginan tertentu. Ditunjukkan sebuah contoh, karena didalam forum resmi di bale banjar keinginan seseorang (untuk memperbaiki banjar misalnya) tak diikuti oleh warga banjar, dalam kesempatan lainnya orang bersangkutan kerawuhan di suatu pura dengan menyatakan kelinggihan Ida Bethara yang menghendaki (bhs Bali: mapakayunan) agar banjar diperbaiki bilamana tidak dipenuhi maka malapetaka akan menimpa warga banjar. Atau contoh lainnya, pada dasarnya manusia memang punya niat untuk selalu diperhatikan dan dilayani oleh orang lain, dan dalam kondisi trance, seseorang dalam pengertian pribadinya akan dilayani keinginannya, maka tradisi trance pun menjadi ajang untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas pelayanan dari orang lain.

Ironisnya ada anekdot muncul, dimana seseorang kerawuhan dengan menyatakan dirinya kelinggihan Ida Betara yang punya keinginan ini-itu yang harus dipenuhi. Dipihak lain orang disampingnya ikut-ikutan trance, yang duluan trance menyebut bahwa orang yang trance belakangan ini adalah rain ida (adik beliau). Ketika yang trance belakangan menyatakan dirinya hanya ikut-ikutan, maka terbongkarlah kebohongan orang yang trance duluan yang menyatakan bahwa itu adalah adiknya. Contoh demikian tentunya sangat buruk dan tidak disyahkan dalam sastra.

Tentang Suci dan tidak sucinya bangunan, Ida Pandita menjelaskan bahwa yang dipergunakan untuk membangun di Bali, adalah kayu dan kayu itu sejatinya berasal dari hutan yang dikuasai oleh Banaspati (Banas=wanas atau wana, wana = hutan, pati=raja atau penguasa). Jadi bangunan dari kayu itu baru boleh dipergunakan oleh manusia bilamana sudah diurip atau dihidupkan lewat prosesi prayascita, dalam prayascita wewangunan ini tujuannya adalah guna mempralina kayu yang dikuasai oleh banaspati menjadi sebuah nama baru menjadi sebuah kelahiran baru berwujud bangunan atau tidak lagi disebut kayu. Bangunan baru, yang diprayascita ini saja yang dapat disebut sebagai bangunan, dan untuk dapat disebut suci atau bangunan suci maka perlu dilanjutkan dengan upacara pamelaspasan guna menyucikan bangunan itu sehingga sesuhunan boleh diletakkan, ditempatkan maupun mesolah di bangunan suci tersebut. Sedangkan untuk tetaring, tetaring pada dasarnya bukan merupakan bangunan, tapi merupakan tempat sementara untuk sebuah kegiatan, sehingga tidak terkenakan oleh istilah bangunan suci maupun bangunan tidak suci.

Untuk melihat slide kegiatan dharmawacana ini bisa di-klik disini