PURWA WACANA

Om Swastiastu,

Desa Pakraman Pedungan memiliki pengurus yang telah di pilih pada Sabtu, 26 Maret 2011. Dengan susunan pengurus sebagai berikut: Bendesa : Drs. I Nyoman Sumantra; Penyarikan: I Nyoman Subaga ; Patengen: I Gusti Putu Loka; ; Patajuh Parhyangan : I Nyoman Jiwa Pande, S.Sos; Patajuh Pawongan : I Made Badra; Patajuh Palemahan : Ir. I Ketut Adhimastra, M.Erg; Kasinoman: I Made Suardana, SE

Om Santhi, santhi, santhi Om

24 Mei 2014

KEKHAWATIRAN DALAM PELAKSANAAN UU DESA 2014

Secara sederhana ada pemikiran bahwa pelaksanaan UU Desa 2014 akan menuai beberapa masalah kedepan. Seperti masalah SDM (sumber daya manusia) yang akan mengelola Desa, karena sebelum penerapan UU ini SDM desa adat belum memiliki kompetensi dibidang administrasi maupun keuangan apalagi masalah IT. Desa Adat sebelum penerapan UU Desa 2014 masih mengelola desa secara sederhana, berbasis pada kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan-pimpinan adatnya yang terpilih baik secara turun-temurun maupun dipilih secara musyawarah dan mufakat (demokrasi sejati yang sudah ada dan terlaksana sejak dahulu). Sedangkan untuk penerapan UU Desa 2014 ini, sangat jelas dibutuhkan SDM yang sesuai dengan perkembangan jaman. Disamping itu penerapan UU Desa 2014 seakan ditengarai akan meng-intervensi otonomi Desa Adat sebelumnya, pemerintah ditengarai akan mengontrol sepenuhnya kagiatan pembangunan di Desa Adat. Kemudian dipihak lain juga ada kekhawatiran bahwa dalam pelaksanaan UU Desa 2014 ini akan menuai kemungkinan banyak kepala desa yang akan masuk dalam kasus korupsi yang diakibatkan oleh ketidakmengertian mereka akan masalah pelaporan keuangan maupun masalah administrasi dalam melaksanakan Pengelolaan 10% dari  Dana Perimbangan (pasal 72 ayat (1) mengenai sumber pendapatan desa). Analoginya adalah dalam penerapan Otonomi daerah sebelumnya telah menuai masalah korupsi;
era otonomi daerah gara-gara salah urus soal keuangan telah menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan hukum. Semoga dalam penerapan UU Desa tahun 2104 ini tidak menimbulkan banyak korban sebagaimana UU Otonomi daerah. Astungkara

11 Mei 2014

Bali dalam Dilema UU Desa

Sejak ditetapkannya RUU tentang Desa oleh Pansus DPR RI pada 18 Desember 2013 lalu, kemudian disahkan oleh Presiden Republik Indonesia  Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Januari 2014 lalu menjadi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah menjadi perhatian dan pembahasan di berbagai daerah di Indonesia-tidak terkecuali Bali.
Entah karena tahun politik, di berbagai media wacana yang berkembang umumnya soal besaran dana alokasi desa paling sedikit 10 %, seperti apa yang tertuang dalam pasal 72 huruf 4.   Memang Pasal 72 memberi mandat bahwa masing-masing desa memungkinkan memperoleh anggaran pembangunan rata-rata 1 (satu) milyar. Oleh karenanya isu dana satu milyar pun merebak dan popular, apalagi sejak jauh-jauh hari beberapa caleg dan elit parpol sudah menyuarakan keberadaan dan substansi UU Desa yang baru ini sebagai “jualan politik” menjelang pemilu legislatif 2014.


“Sungguh sangat disayangkan respon UU Desa oleh sebagian kalangan masyarakat, aparat desa dan politisi hanya sebatas isu dan “harapan pragmatis”. Sementara  substansi yang lebih mendasar nyaris tidak tersosialisasikan menyangkut apa dan bagaimana pertimbangan awal dan implementasi UU Desa ini di berbagai wilayah di Indonesia.”


Dalam konsideran UU No. 6 Tahun 2014   tentang Desa disebutkan : a). bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan  sejahtera; c). bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan  undang-undang ;


Dari pertimbangan diatas jelas UU No. 6 Tahun 2014 akan menyentuh fungsi-fungsi pengaturan tentang kelembagan desa dan desa adat dalam hal tata cara pemerintahan (NKRI) yang diakibatkan adanya perubahan, tuntutan  dan dinamika yang berkembang saat ini. Disatu sisi semangat untuk menghormati hak asal-usul dan hak tradisional yang ada di desa adat wajib untuk dilaksanakan.  Langkah maju dalam UU Desa ini adalah keberadaan desa adat diakui secara hukum.


UU Desa terdiri dari 16 BAB dan 122 Pasal, yaitu : Bab I   : Ketentuan Umum; Bab II : Kedudukan dan Jenis Desa; Bab III: Penataan Desa; Bab IV : Kewenangan Desa; Bab V: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Bab VI: Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa; Bab VII: Peraturaan Desa; Bab VIII: Keuangan Desa dan Aset Desa; Bab IX: Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan; Bab X: Badan Usaha Milik Desa; Bab XI : Kerjasama Desa; Bab XII: Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa; Bab XIII : Ketentuan Khusus Desa Adat; Bab XIV: Pembinaan dan Pengawasan; Bab XV: Ketentuan Peralihan; Bab XVI : Ketentuan Penutup.



Bali antara Dualitas dan Dualisme


Bali mungkin salah satu daerah yang paling  tersentuh oleh pasal-pasal yang ada dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Apalagi untuk pertama kalinya keberadaan Desa Adat diakui secara hukum setingkat undang-undang.   Namun setelah dikaji dan dicermati, beberapa pasal dalam UU Desa ini tidak sejalan dengan kondisi riil dan harapan masyarakat adat/pakraman di Bali sehingga penerapannya akan sulit.   Seperti apa tertuang dalam bagian menimbang, terkesan hanya melihat dan merespon perubahan dan dinamika sosial secara materiil yang terjadi saat ini di Indonesia, juga soal manajemen pemerintahan di tingkat desa.


Seperti halnya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang pernah mendapat penolakan oleh masyarakat Bali, pasal-pasal dalam UU No. 6 Tahun 2014 tantang Desa juga sulit diterapkan, bahkan diyakini akan berisiko dan menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat Bali. Bukan saja soal filosofi desa adat, tapi juga menyangkut hak-hak otonomi asli, pemerintahan, kelembagaan, asset dan batas desa.   UU No. 6 tahun 2014 memamandatkan pilihan salah satu bentuk desa yaitu; Desa Dinas atau Desa Adat.


Seperti kita ketahui, hak-hak otonomi asli tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun termasuk negara sepanjang tidak bertentangan konstitusi dan prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia . Seperti halnya keberadaan Perda Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman atau Desa Adat,  sama sekali tidak menyentuh atau mengatur soal hak-hak otonomi asli yang ada di desa Pakraman atau Desa Adat di Bali. Perda Desa Pakraman sifatnya hanya mengayomi, melindungi dan menghormati tatanan asli yang sudah ada selama ini. Akan menjadi aneh jika kemudian Desa Pakraman atau Desa Adat di Bali menyerahkan sebagian urusannya kepada negara dan/atau desa dinas-sepertinya hal ini sesuatu yang tidak mungkin.”  Dan sebaliknya jika pilihan bentuk Desa di Bali adalah Desa Adat pun juga akan mengalami kesulitan. Akan mengalami kendala dalam hal filosofi, kependudukan, penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan, aset dan batas desa.


Lebih jauh, ada kesan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa hanya mengatur soal manajemen pemerintahan dan pembangunan terkait adanya dua manajemen pemerintahan di tingkat Desa, yaitu; desa dinas dan desa adat. Bahkan jika UU Desa ini diterapkan maka akan menjadi pembenar bahwa saat ini Bali sedang mengalami persoalan terkait “dualisme” manajemen pemerintah desa. Sementara kalangan pemerhati dan para ahli berpendapat, bawah di Bali tidak pernah ada “dualisme” dalam pemerintahan Desa. Memang di Bali terdapat dua jenis pemerintahan desa, yaitu: desa dinas dan desa adat namun kedua sistem pemerintahan tersebut memiliki tugas, fungsi dan kewenangan yang berbeda. Kedudukan desa dinas dan desa adat dalam satu wilayah desa di Bali adalah “dualitas” yaitu: dua pemerintahan yang saling mendukung dan memperkuat.


Kalau semangat UU No. 6 tahun 2014 dimaksudkan untuk menghapus dualisme pemerintahan desa, maka pandangan tersebut tentu hanya untuk Bali. Mengingat tidak ada lagi wilayah di Indonesia yang memiliki dualisme pemerintahan seperti di Bali.  Jadi ada kesan UU Desa ini hanya bertujuan untuk mengatur ulang tata pemerintahan desa di Bali saja.



Jika UU No. 6 tahun 2014 diberlakukan maka Bali ada dalam “dilema”.  Hal itu bisa dilihat dari kelemahan dan ancaman (resiko) yang bisa timbul di tengah masyarakat. Untuk memudahkan dalam kajian kita coba lihat dalam tiga pilihan (opsi) yaitu:
  1. Tatap seperti kondisi saat ini , yaitu masih tetap ada Desa Dinas dan Desa Adat tanpa menentukan mana  yang diatas mana yang di bawah,  dan mengajukan usulan ke Pemerintah Pusat agar Desa Adat menjadi subyek hukum dan diberikan hak mengatur diri sendiri. Usulan tersebut harus diajukan ke pemerintah pusat sebelum PP disahkan.
  2. Menggabungkan Desa Adat dan Desa Dinas dengan mendaftarkan salah satu diantaranya.
  3. Memilih salah satu diantaranya sesuai dengan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa.


Jika kita UU Desa No. 6 Tahun 2014 kita bedah dengan analisa SWOT (strengths , weaknesses , opportunities , dan threats ) maka dapat dirumuskan beberapa pandangan sebagai berikut :



1. Kekuatan (strengths)


a.  Desa dinas dan desa adat di Bali adalah dua tata cara pemerintahan yang selama ini saling mendukung (dualitas).


b. Desa adat di Bali masih eksis, memiliki hak asal usul dan hak tradisional yang masih hidup dan diyakini hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan amanat  UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang”.



2. Kelemahan (weaknesses)


a. Secara filosofi pengertian desa adat dalam UU Desa berbeda dengan pengertian desa adat menurut pandangan (dresta) masyarakat Bali, yaitu : Desa adat dalam UU Desa adalah lembaga pemerintahan sedangan Desa Adat dalam pandangan dan filosofi Bali adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam spirit tatwa, etika dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah adat) dan parahyangan (keyakinan agama).
“Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyarankan pada Sang Raja Bali supaya agamalah yang dijadikan pegangan oleh Sang Raja dalam menata kehidupan Kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan, "Desa Pakraman winangun dening sang catur varna manut lingin sang hyang aji". Artinya, Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna berdasarkan ajaran kitab suci (agama Hindu). Maksudnya, "Atas kehendak Sang Catur Warnalah didirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di Desa Pakraman" (Bali Post, 28 September 2008).


Jadi secara filosofis, Desa sebenarnya berarti petunjuk-petunjuk hidup kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Kata grama lama-lama menjadi krama, artinya suatu petunjuk kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Jadi, Desa Pakraman adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan berdasarkan ajaran agama Hindu. Yang disebut Desa Adat dewasa ini sesungguhnya adalah Desa Pakraman. Desa bukanlah soal tata pemerintahan saja.”


b.  Bunyi pasal dalam UU Desa ini menunjukan bahwa negara hendak mencampuri urusan dan hak otonomi asli desa adat, hal ini bisa membuka dominasi dan intervensi negara atas hak otonomi asli masyarakat adat. Keterlibatan negara dalam urusan pengaturan hak otonomi asli desa adat (jika pilihannya adalah desa adat) hampir terlihat dalam seluruh Bab, kecuali Bab XIII  yang beberapa pasalnya mengatur ketentuan khusus desa adat. Hal ini bertentangan dengan cita-cita dan pertimbangan awal mengapa UU Desa disusun.


c. Ditengah masyarakat yang pragmatis, uang atau pihak yang memiliki uang cendrung akan dihormati, lama kelamaan hal ini bisa mengaburkan tatanan desa adat.



3. Peluang (opportunities)


a.  Sesuai bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 45, maka UU No. 6 Tahun 2014   tentang Desa telah memberikan pengakuan hukum terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa atau yang disebut dengan nama lain yang telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.


b. Pembahasan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh berbagai kalangan, berpeluang membuka dialektika yang strategis dan penting di berbagai forum dan kalangan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, kesadaran dan keyakinan semua pihak dalam mendudukan desa adat dalam  tata kelola pemerintahan NKRI dan keragaman suku dan agama di Indonesia.


c. Desa adat dan atau masayarakat hukum adat di Indonesia berpeluang secara hukum untuk menuntut hak otonomi aslinya kepada negara.


d. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat sebagai media pemberdayaan bagi masyarakat   Bali dalam membangun tata pemerintahan yang sesuai dengan semangat dan budaya asli nusantara.


e.  Bab XIII tentang Ketentuan Khusus Desa Adat bisa sebagai ruang dalam mengakomudasikan semangat “otonomi khusus” dan/atau kekhususan Bali yang selama ini sudah mengemuka dan dikemukakan oleh banyak pihak.


f. Harus diakui dalam beberapa hal masih ada persoalan kesejahteraan bagi warga Desa Adat/ Pakraman di tingkat akar rumput.



4. Ancaman (threats)


a. Di era reformasi UU sering berubah atau diamandemen. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan problema sosial dan kebingungan di tingkat akar rumput.


b.  Dana dalam jumlah besar bisa menyuburkan sikap “pragmatisme” dalam pengaturan desa adat.


c.  Jika UU Desa diterapkan maka akan ada beberapa jabatan di desa yang harus dihapus. Kondisi ini akan menimbulkan penyesuaian dalam waktu yang relative lama dan tidak mudah.


d.  Desa dalam UU Desa mengatur batas-batas wilayah, batas wilayah tidak mudah ditentukan saat karena keberadaan anggota desa adat tertentu lokasinya   saling terpencar (saling seluk) . “Batas desa pun tidak selalu berarti fisik tapi juga non fisik atau berupa batas-batas sejarah dan budaya”. Faktanya ada satu desa adat yang terdiri dari beberapa desa dinas, demikian juga ada satu desa dinas terdiri dari beberapa desa adat. Bahkan satu desa adat wilayahnya lintas kecamatan dan lintas kabupaten/kota.

e. Adanya permasalahan antar pribadi, organisasi politik, golongan, kompetisi orang per orang di tingkat Desa dan/atau Desa Adat di Bali sering dikait-kaitkan seolah-olah ada “pertentangan” antara sistem pemerintahan Desa Adat dan Desa  Dinas.
 
Kesimpulan dan Rekomendasi :



Dari pemetaan dan pertimbangan diatas maka ada beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang perlu kita tindak lanjuti. Kesimpulan, yaitu :
  1. Pengertian Desa Adat dalam UU No. 6 tahun 2014 jangan disamakan dengan pengertian Desa Adat/Pakraman   yang dipahami dan diyakini oleh masyarakat Adat Bali saat ini. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengingat Pengertian dan/atau filosofi Desa Adat/Pakraman dalam UU No.6 Tahun 2014 berbeda dengan pengertian dan/atau filosofi Desa Adat/Pakraman yang berlaku selama ini di Bali.
  2. UU Desa lebih pada keputusan politik. Sedangkan pengaturan Desa Adat/Pakraman di Bali terbentuk dari  proses kesadaran, pengetahuan dan keyakinan secara turun temurun yang dilandasi oleh ajaran ketuhanan (Agama Hindu) yang memiliki demensi yang sangat luas.
  3. Jika negara mengabil alih peran dan hak otonomi asli Desa Adat/Pakraman, sama saja menghilangkan keaslian/kemurnian Desa Adat/Pakraman di Bali. Dan sangat diyakini desa dinas di Bali tidak akan mampu mengatur seluruh tatanan desa adat/pakraman. Dan sebaliknya Desa Adat/Pakraman pun tidak mengatur urusan kedinasan.
  4. Apabila UU No.6 Tahun 2014 tidak bisa diterapkan di Bali karena adanya berbagai resiko hukum, sosial dan budaya, maka sama saja Bali akan “memilih untuk tidak memilih” dalam artian tetap seperti keadaan sekarang (status qua).
  5. Harus diakui dalam hal kesejahteraan, warga Desa Adat/Pakraman di tingkat akar rumput masih banyak yang perlu di benahi. Namun kemartabatan, kemandirian dan penghormatan nilai, budaya dan agama di tengah masyarakat adat Bali jauh lebih penting dari sekedar uang transfer daerah seperti yang diatur dalam pasal 72 UU No. 6 Tahun 2014.


 Rekomendasi, yaitu :
  1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan matang dalam merespon UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, mengingat warga desa adat/pakraman juga warga negara yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  2. Penting untuk terus melakukan penguatan Desa Adat/Pakraman mengingat masih banyak hal yang harus dibenahi,   termasuk soal kesejahteraan, pemahaman serta penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.



_________________


Tulisan ini juga dimuat tanggal 19 April 2014 di media online metrobali www.metrobali.com


Tabanan, 19 April 2014


Oleh : Made Nurbawa
sumber tulisan/artikel: http://madenurbawa.com/article/140212/bali-dalam-dilema-uu-desa.html