Entah
karena tahun politik, di berbagai media wacana yang berkembang umumnya
soal besaran dana alokasi desa paling sedikit 10 %, seperti apa yang
tertuang dalam pasal 72 huruf 4. Memang Pasal 72 memberi mandat bahwa
masing-masing desa memungkinkan memperoleh anggaran pembangunan
rata-rata 1 (satu) milyar. Oleh karenanya isu dana satu milyar pun
merebak dan popular, apalagi sejak jauh-jauh hari beberapa caleg dan
elit parpol sudah menyuarakan keberadaan dan substansi UU Desa yang baru
ini sebagai “jualan politik” menjelang pemilu legislatif 2014.
“Sungguh
sangat disayangkan respon UU Desa oleh sebagian kalangan masyarakat,
aparat desa dan politisi hanya sebatas isu dan “harapan pragmatis”.
Sementara substansi yang lebih mendasar nyaris tidak tersosialisasikan
menyangkut apa dan bagaimana pertimbangan awal dan implementasi UU Desa
ini di berbagai wilayah di Indonesia.”
Dalam konsideran UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan : a). bahwa Desa memiliki hak asal usul
dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). bahwa
dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah
berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera; c). bahwa
Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang ;
Dari
pertimbangan diatas jelas UU No. 6 Tahun 2014 akan menyentuh
fungsi-fungsi pengaturan tentang kelembagan desa dan desa adat dalam hal
tata cara pemerintahan (NKRI) yang diakibatkan adanya perubahan,
tuntutan dan dinamika yang berkembang saat ini. Disatu sisi semangat
untuk menghormati hak asal-usul dan hak tradisional yang ada di desa
adat wajib untuk dilaksanakan. Langkah maju dalam UU Desa ini adalah
keberadaan desa adat diakui secara hukum.
UU
Desa terdiri dari 16 BAB dan 122 Pasal, yaitu : Bab I : Ketentuan
Umum; Bab II : Kedudukan dan Jenis Desa; Bab III: Penataan Desa; Bab IV :
Kewenangan Desa; Bab V: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Bab VI: Hak
dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa; Bab VII: Peraturaan Desa; Bab
VIII: Keuangan Desa dan Aset Desa; Bab IX: Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan; Bab X: Badan Usaha Milik Desa; Bab XI :
Kerjasama Desa; Bab XII: Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat
Desa; Bab XIII : Ketentuan Khusus Desa Adat; Bab XIV: Pembinaan dan
Pengawasan; Bab XV: Ketentuan Peralihan; Bab XVI : Ketentuan Penutup.
Bali antara Dualitas dan Dualisme
Bali
mungkin salah satu daerah yang paling tersentuh oleh pasal-pasal yang
ada dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Apalagi untuk pertama
kalinya keberadaan Desa Adat diakui secara hukum setingkat
undang-undang. Namun setelah dikaji dan dicermati, beberapa pasal
dalam UU Desa ini tidak sejalan dengan kondisi riil dan harapan
masyarakat adat/pakraman di Bali sehingga penerapannya akan sulit.
Seperti apa tertuang dalam bagian menimbang, terkesan hanya melihat dan
merespon perubahan dan dinamika sosial secara materiil yang terjadi saat
ini di Indonesia, juga soal manajemen pemerintahan di tingkat desa.
Seperti
halnya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang pernah mendapat
penolakan oleh masyarakat Bali, pasal-pasal dalam UU No. 6 Tahun 2014
tantang Desa juga sulit diterapkan, bahkan diyakini akan berisiko dan
menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat Bali. Bukan saja soal
filosofi desa adat, tapi juga menyangkut hak-hak otonomi asli,
pemerintahan, kelembagaan, asset dan batas desa. UU No. 6 tahun 2014
memamandatkan pilihan salah satu bentuk desa yaitu; Desa Dinas atau Desa
Adat.
Seperti
kita ketahui, hak-hak otonomi asli tidak boleh dicampuri oleh pihak
manapun termasuk negara sepanjang tidak bertentangan konstitusi dan
prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia .
Seperti halnya keberadaan Perda Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang
Desa Pakraman atau Desa Adat, sama sekali tidak menyentuh atau
mengatur soal hak-hak otonomi asli yang ada di desa Pakraman atau Desa
Adat di Bali. Perda Desa Pakraman sifatnya hanya mengayomi, melindungi
dan menghormati tatanan asli yang sudah ada selama ini. Akan menjadi
aneh jika kemudian Desa Pakraman atau Desa Adat di Bali menyerahkan
sebagian urusannya kepada negara dan/atau desa dinas-sepertinya hal ini
sesuatu yang tidak mungkin.” Dan sebaliknya jika pilihan bentuk Desa
di Bali adalah Desa Adat pun juga akan mengalami kesulitan. Akan
mengalami kendala dalam hal filosofi, kependudukan, penyelenggaraan
pemerintahan, kelembagaan, aset dan batas desa.
Lebih
jauh, ada kesan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa hanya mengatur soal
manajemen pemerintahan dan pembangunan terkait adanya dua manajemen
pemerintahan di tingkat Desa, yaitu; desa dinas dan desa adat. Bahkan
jika UU Desa ini diterapkan maka akan menjadi pembenar bahwa saat ini
Bali sedang mengalami persoalan terkait “dualisme” manajemen pemerintah
desa. Sementara kalangan pemerhati dan para ahli berpendapat, bawah di
Bali tidak pernah ada “dualisme” dalam pemerintahan Desa. Memang di Bali
terdapat dua jenis pemerintahan desa, yaitu: desa dinas dan desa adat
namun kedua sistem pemerintahan tersebut memiliki tugas, fungsi dan
kewenangan yang berbeda. Kedudukan desa dinas dan desa adat dalam satu
wilayah desa di Bali adalah “dualitas” yaitu: dua pemerintahan yang
saling mendukung dan memperkuat.
Kalau
semangat UU No. 6 tahun 2014 dimaksudkan untuk menghapus dualisme
pemerintahan desa, maka pandangan tersebut tentu hanya untuk Bali.
Mengingat tidak ada lagi wilayah di Indonesia yang memiliki dualisme
pemerintahan seperti di Bali. Jadi ada kesan UU Desa ini hanya
bertujuan untuk mengatur ulang tata pemerintahan desa di Bali saja.
Jika
UU No. 6 tahun 2014 diberlakukan maka Bali ada dalam “dilema”. Hal
itu bisa dilihat dari kelemahan dan ancaman (resiko) yang bisa timbul di
tengah masyarakat. Untuk memudahkan dalam kajian kita coba lihat dalam
tiga pilihan (opsi) yaitu:
- Tatap seperti kondisi saat ini , yaitu masih tetap ada Desa Dinas dan Desa Adat tanpa menentukan mana yang diatas mana yang di bawah, dan mengajukan usulan ke Pemerintah Pusat agar Desa Adat menjadi subyek hukum dan diberikan hak mengatur diri sendiri. Usulan tersebut harus diajukan ke pemerintah pusat sebelum PP disahkan.
- Menggabungkan Desa Adat dan Desa Dinas dengan mendaftarkan salah satu diantaranya.
- Memilih salah satu diantaranya sesuai dengan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa.
Jika kita UU Desa No. 6 Tahun 2014 kita bedah dengan analisa SWOT (strengths , weaknesses , opportunities , dan threats ) maka dapat dirumuskan beberapa pandangan sebagai berikut :
1. Kekuatan (strengths)
a. Desa dinas dan desa adat di Bali adalah dua tata cara pemerintahan yang selama ini saling mendukung (dualitas).
b. Desa adat di Bali masih eksis, memiliki hak asal usul dan hak tradisional yang masih hidup dan diyakini hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 18B
Ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang”.
2. Kelemahan (weaknesses)
a.
Secara filosofi pengertian desa adat dalam UU Desa berbeda dengan
pengertian desa adat menurut pandangan (dresta) masyarakat Bali, yaitu :
Desa adat dalam UU Desa adalah lembaga pemerintahan sedangan Desa Adat
dalam pandangan dan filosofi Bali adalah tempat pelaksanaan ajaran agama
dalam spirit tatwa, etika dan upacara yang bertalian pada wilayah
pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah adat) dan parahyangan
(keyakinan agama).
“Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyarankan pada Sang Raja Bali supaya agamalah yang dijadikan pegangan oleh Sang Raja dalam menata kehidupan Kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan, "Desa Pakraman winangun dening sang catur varna manut lingin sang hyang aji". Artinya, Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna berdasarkan ajaran kitab suci (agama Hindu). Maksudnya, "Atas kehendak Sang Catur Warnalah didirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di Desa Pakraman" (Bali Post, 28 September 2008).
“Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyarankan pada Sang Raja Bali supaya agamalah yang dijadikan pegangan oleh Sang Raja dalam menata kehidupan Kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan, "Desa Pakraman winangun dening sang catur varna manut lingin sang hyang aji". Artinya, Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna berdasarkan ajaran kitab suci (agama Hindu). Maksudnya, "Atas kehendak Sang Catur Warnalah didirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di Desa Pakraman" (Bali Post, 28 September 2008).
Jadi
secara filosofis, Desa sebenarnya berarti petunjuk-petunjuk hidup
kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Kata grama lama-lama menjadi
krama, artinya suatu petunjuk kerohanian yang berlaku dalam suatu grama.
Jadi, Desa Pakraman adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah
tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan
berdasarkan ajaran agama Hindu. Yang disebut Desa Adat dewasa ini
sesungguhnya adalah Desa Pakraman. Desa bukanlah soal tata pemerintahan
saja.”
b.
Bunyi pasal dalam UU Desa ini menunjukan bahwa negara hendak mencampuri
urusan dan hak otonomi asli desa adat, hal ini bisa membuka dominasi
dan intervensi negara atas hak otonomi asli masyarakat adat.
Keterlibatan negara dalam urusan pengaturan hak otonomi asli desa adat
(jika pilihannya adalah desa adat) hampir terlihat dalam seluruh Bab,
kecuali Bab XIII yang beberapa pasalnya mengatur ketentuan khusus desa
adat. Hal ini bertentangan dengan cita-cita dan pertimbangan awal
mengapa UU Desa disusun.
c.
Ditengah masyarakat yang pragmatis, uang atau pihak yang memiliki uang
cendrung akan dihormati, lama kelamaan hal ini bisa mengaburkan tatanan
desa adat.
3. Peluang (opportunities)
a.
Sesuai bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 45, maka UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa telah memberikan pengakuan hukum terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat sebagai Desa atau yang disebut dengan nama lain yang telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
b.
Pembahasan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh berbagai kalangan,
berpeluang membuka dialektika yang strategis dan penting di berbagai
forum dan kalangan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman,
kesadaran dan keyakinan semua pihak dalam mendudukan desa adat dalam
tata kelola pemerintahan NKRI dan keragaman suku dan agama di Indonesia.
c.
Desa adat dan atau masayarakat hukum adat di Indonesia berpeluang
secara hukum untuk menuntut hak otonomi aslinya kepada negara.
d.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat sebagai media pemberdayaan bagi
masyarakat Bali dalam membangun tata pemerintahan yang sesuai dengan
semangat dan budaya asli nusantara.
e.
Bab XIII tentang Ketentuan Khusus Desa Adat bisa sebagai ruang dalam
mengakomudasikan semangat “otonomi khusus” dan/atau kekhususan Bali yang
selama ini sudah mengemuka dan dikemukakan oleh banyak pihak.
f. Harus diakui dalam beberapa hal masih ada persoalan kesejahteraan bagi warga Desa Adat/ Pakraman di tingkat akar rumput.
4. Ancaman (threats)
a.
Di era reformasi UU sering berubah atau diamandemen. Hal ini
dikhawatirkan menimbulkan problema sosial dan kebingungan di tingkat
akar rumput.
b. Dana dalam jumlah besar bisa menyuburkan sikap “pragmatisme” dalam pengaturan desa adat.
c.
Jika UU Desa diterapkan maka akan ada beberapa jabatan di desa yang
harus dihapus. Kondisi ini akan menimbulkan penyesuaian dalam waktu yang
relative lama dan tidak mudah.
d.
Desa dalam UU Desa mengatur batas-batas wilayah, batas wilayah tidak
mudah ditentukan saat karena keberadaan anggota desa adat tertentu
lokasinya saling terpencar (saling seluk)
. “Batas desa pun tidak selalu berarti fisik tapi juga non fisik atau
berupa batas-batas sejarah dan budaya”. Faktanya ada satu desa adat yang
terdiri dari beberapa desa dinas, demikian juga ada satu desa dinas
terdiri dari beberapa desa adat. Bahkan satu desa adat wilayahnya lintas
kecamatan dan lintas kabupaten/kota.
e.
Adanya permasalahan antar pribadi, organisasi politik, golongan,
kompetisi orang per orang di tingkat Desa dan/atau Desa Adat di Bali
sering dikait-kaitkan seolah-olah ada “pertentangan” antara sistem
pemerintahan Desa Adat dan Desa Dinas.
Kesimpulan dan Rekomendasi :
Dari
pemetaan dan pertimbangan diatas maka ada beberapa kesimpulan dan
rekomendasi yang perlu kita tindak lanjuti. Kesimpulan, yaitu :
- Pengertian Desa Adat dalam UU No. 6 tahun 2014 jangan disamakan dengan pengertian Desa Adat/Pakraman yang dipahami dan diyakini oleh masyarakat Adat Bali saat ini. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengingat Pengertian dan/atau filosofi Desa Adat/Pakraman dalam UU No.6 Tahun 2014 berbeda dengan pengertian dan/atau filosofi Desa Adat/Pakraman yang berlaku selama ini di Bali.
- UU Desa lebih pada keputusan politik. Sedangkan pengaturan Desa Adat/Pakraman di Bali terbentuk dari proses kesadaran, pengetahuan dan keyakinan secara turun temurun yang dilandasi oleh ajaran ketuhanan (Agama Hindu) yang memiliki demensi yang sangat luas.
- Jika negara mengabil alih peran dan hak otonomi asli Desa Adat/Pakraman, sama saja menghilangkan keaslian/kemurnian Desa Adat/Pakraman di Bali. Dan sangat diyakini desa dinas di Bali tidak akan mampu mengatur seluruh tatanan desa adat/pakraman. Dan sebaliknya Desa Adat/Pakraman pun tidak mengatur urusan kedinasan.
- Apabila UU No.6 Tahun 2014 tidak bisa diterapkan di Bali karena adanya berbagai resiko hukum, sosial dan budaya, maka sama saja Bali akan “memilih untuk tidak memilih” dalam artian tetap seperti keadaan sekarang (status qua).
- Harus diakui dalam hal kesejahteraan, warga Desa Adat/Pakraman di tingkat akar rumput masih banyak yang perlu di benahi. Namun kemartabatan, kemandirian dan penghormatan nilai, budaya dan agama di tengah masyarakat adat Bali jauh lebih penting dari sekedar uang transfer daerah seperti yang diatur dalam pasal 72 UU No. 6 Tahun 2014.
Rekomendasi, yaitu :
- Perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan matang dalam merespon UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, mengingat warga desa adat/pakraman juga warga negara yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
- Penting untuk terus melakukan penguatan Desa Adat/Pakraman mengingat masih banyak hal yang harus dibenahi, termasuk soal kesejahteraan, pemahaman serta penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat.
_________________
Tulisan ini juga dimuat tanggal 19 April 2014 di media online metrobali www.metrobali.com
Tabanan, 19 April 2014
Oleh : Made Nurbawa
sumber tulisan/artikel: http://madenurbawa.com/article/140212/bali-dalam-dilema-uu-desa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar